Carilah perbedaan, persamaan justru melemahkan nalar kritis yang logis!

.

Banyak orang mencari persamaan dari kebhinekaan yang plural, untuk menyatukan perbedaan. Saya benci dengan dogma Bung Karno itu, karena yang beda dan bisa disatukan mungkin cuma laki dan perempuan itupun via lembaga pernikahan. Masyarakat lebih suka mencari persamaan untuk menjaga kedamaian, ketimbang berdebat atau beradu argumen satu sama lain atau saling berkonflik semacam cek coknya antar suami istri semisal. Ya padahal cek cok adalah bumbu dan drama yang rasanya pedas di dalam Rumah Tangga. Maaf saya penyuka sambal mungkin karena itulah saya suka berdebat dan menjadi pribadi yang toxic jika bersosialisasi dengan circle saya sendiri.

Efek dari dogma baik nasionalis maupun agamis. Nalar publik jadi baperan tidak lagi kritis, kebanyakan memilih diam untuk menjaga perasaan orang-orang di sekelilingnya. Tapi efeknya kita tidak lagi menjadi pribadi yang jujur dan otentik tapi penuh kepura-puraan. Ya bahkan dalam dogma agama, aib dilarang diceritakan. Padahal aib semisal suami korupsi, istri selingkuh, anak hamil di luar nikah, atau terjerat judi online dsb. Meski itu privat, namun pengalaman individu-individu tersebut. Bagaimanapun juga adalah masalah juga untuk publik yang lebih luas. Problem atau aib itu mengapa bisa terjadi, yang semestinya kita bermasyarakat bisa berelasi, dipikirkan dan dikritisi bersama, sebagai bagian juga dari mencerdaskan kehidupan, segala ilmu sains maupun pengetahuan tanpa problem tak mungkin ada penemuan. Perlu langkah-langkah yang solutif, konkret dan strategis bersama untuk menyelesaikannya.

Dari Sekolah Menengah saya dekat dengan adik kelas yang saya dekati. Kami memiliki hobi membaca buku yang berbeda. Saya penikmat komik detektif conan, ia penyuka novel Raditya Dika. Saya cemburu karena hal sesepele bacaan. Saya jadi benci dengan hal-hal yang absurd. Karena menjauhkan mental saya hadapi realita. Namun sepertinya di tahun itu, saya simpulkan generasi milenial, ya dibantu dengan media juga mempopulerkan hal yang lucu tapi bagi saya sangat kosong itu. RD menjadi besar dan pop. Ia menjadi juri dan melahirkan sederet generasi komika. Ada kelebihannya ia selalu jujur. Itu sifat utama nabi, saya masih memaklumi, meski saya benci. Dan membantu perekonomian artis-artis komika lain, baguslah. Padahal ada penulis milenial kritis realis lain, tapi anak muda lebih suka yang pop. Karena lucu lebih menjual ketimbang serius. Orang lebih suka tertawa daripada menangis, bukan? Lebih suka kebahagiaan ketimbang kesedihan, dimanapun itu.

Salah satu alasan, kenapa kolom agama dalam KTP harus dihapuskan? Karena tidak sesuai dengan perikemanu..bla,bla 😋

Ah tidak, saya sepertinya tidak seperti orang kebanyakan. Saya lebih suka gaming, namun rasanya terlampau hedon. Seperti ada rasa yang hilang dalam diri saya, ada yang mengingatkan. Selalu membuat saya untuk kembali mencari kesedihan, kegetiran. Saya selami lagi novel-novel realis. Meski taruhannya adalah gangguan mental akan saya alami. Saya harus kuat hadapi hidup melihat kenyataan. Dari komik ke novel, akhirnya membaca sejarah. Film turut melatih mindfullness saya, kata-kata dalam tiap buku yang penuh data-data berubah menjadi gambar yang hidup dalam benak saya. Saat saya membaca data faktual sejarah yang membosankan, saya seperti menonton film. Huruf-huruf itu menjadi gambar yang hidup dalam imaji saya. Huruf tidak sekedar teks yang mati, saya bingung. Mungkin saya terlalu sensitif sajakah? Jadi orang yang mudah baperan? Ah selalu saya kuatkan diri. Mungkin memang saya berbakat menjadi seorang filsuf.

Saya muak dengan yang pop. Karena sering kali delusif, mengaburkan saya melihat kenyataan. Harus mencari yang sepi dan tersisih. Tinggalkan warung yang ramai, dalami semua sisi sekedar untuk menyeduh kopi di pagi hari. Hidup dan ekonomi, butuh keberpihakan kita di zaman ini. Janganlah mengadopsi karakter para politisi, selalu cari aman untuk raih simpati ataupun adsense, tetaplah otentik dan jadilah diri sendiri! Lebih ramah, jujur dan terbuka. Jangan tipu lagi orang lain, apalagi dirimu sendiri.

Tinggalkan komentar